Sabtu, Desember 20, 2008

Sejarah Pemerintahan Banjar

Berawal dari Kerajaan Kertabumi di Tahun 1625

MENURUT berbagai cerita yang berkembang, terbentuknya sebuah pemerintahan di Banjar, diawali dengan Kerajaan Kertabumi. Dalam buku "Naratas Sejarah Banjar" ditulis oleh H. Djaja Sukardja, kerajaan Kertabumi diperkirakan berdiri tahun 1625. Raja pertamanya Rd. Ad. Singaperbaya dan dilanjutkan oleh Singaperbaya II atau disebut Dalem Tambakbaya. Lokasi pusat kerajaan Kertabumi diperkirakan adalah Banjar Kolot sekarang.

Sebelum adanya kerajaan itu, Banjar merupakan hutan tarum atau nila yang banyak digunakan minyak atsiri. Hutan itu berada di pinggir Sungai Citanduy. Kabarnya, nama Banjar sendiri berasal dari nama Banjar Patroman yang berarti Banjar adalah tempat, sedangkan Patroman adalah hutan tarum.
Tahun 1641 pusat pemerintahan Kertabumi dipindahkan dari Banjar ke Bojonglopang (Cisaga) oleh Dalem Pager Gunung. Tidak lama setelah itu, wilayah Banjar bersama dengan Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang, masuk ke wilayah Kerajaan Galuh Imbadanegara di bawah Bupati Galuh Imbadanegara Rd. Ad. Aria Panji Jayanagara. Pusat pemerintahan kerajaan ini adalah di Imbadanegara.

Sekira tahun 1806, Banjar masuk ke Kabupaten Sukapura (Tasikmalaya). Pemisahan Banjar yang semula masuk Imbadanegara dilakukan oleh Belanda. Hampir satu abad Banjar masuk ke wilayah Sukapura. Tahun 1936 Banjar kembali masuk ke wilayah Kabupaten Ciamis oleh Bupati Ciamis keturunan Sukapura yaitu R. Tumenggung Sunarya.

Dua tahun berikutnya, Bupati Tumenggung Sunarya mengembangkan daerah Banjar menjadi kewedanaan dengan meliputi Kecamatan Banjar, Rancah, Cimaragas, dan Cisaga. Keputusan itu hingga berlangsung kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Setelah lama jadi kewedanaan, pemerintah pusat sendiri lewat PP Nomor 54 Tahun 1991 mengubah Banjar menjadi kota administratif. Lalu diperkuat dengan SK Mendagri Nomor 813.221.23-137 tanggal 18 Januari 1992 yang mengangkat Drs. H. Suyazid sebagai walikotatif. Wilayah Kotif Banjar ini meliputi Kecamatan Banjar, Pataruman, Langensari, dan Purwaharja.

Sejalan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, yang menyebutkan bahwa untuk kota administratif ada dua kemungkinan. Pertama, dilikuidasi dengan kembali menjadi kecamatan atau jika memungkinkan berubah status menjadi Pemerintahan Kota Banjar. Adanya perubahan paradigma pemerintahan dengan otonomi daerah itu menjadi salah satu bahasan para tokoh Banjar.

Pembahasan pertama dilakukan tanggal 18 Oktober 1999. Dilanjutkan dengan pertemuan 21 Oktober 1999 yang akhirnya melahirkan sebuah Forum Peningkatan Status Kota Banjar. Forum ini beranggotakan dr. H. Herman Soestrisno, Yusuf Sidiq, Bahtiar Hamara, Endang Hamara, Tatang Rustama, dan K.H. Muin. Setelah mengkaji aturan UU Nomor 22 Tahun 1999, forum sepakat, Banjar harus menjadi daerah otonom memisahkan diri dari Ciamis.

Dengan komitmen itu, maka garis perjuangan dibangun. Termasuk meminta dukungan dari elemen masyarakat Banjar lainnya untuk memperjuangkan masalah pembentukan Kota Banjar tersebut. Beberapa pertimbangan kenapa mesti berpisah yaitu sesuai dengan keinginan masyarakat Banjar sebagai tuntutan sejarah dan tuntutan kemajuan masyarakat.

Pertimbangan lain, dengan terbentuknya Pemkot Banjar, pembangunan diharapkan akan lebih terfokus dan diharapkan bisa lebih maju. Apalagi dalam beberapa hal pembangunan Banjar, kurang banyak mengalami kemajuan. Bahkan daerah ini, sedikit mundur. Dulu Banjar disebut sebagai "daerah yang tidak pernah tidur". Namun sekarang pukul 20.00, Banjar sudah sepi. Julukan sebagai daerah sentra perdagangan, juga semakin surut.

Belum lagi melihat perkembangan jumlah penduduk semakin pesat. Pada tahun 1996, Banjar berpenduduk 149.811 jiwa, bertambah pada tahun 2001 menjadi 154.851 jiwa. Artinya dari jumlah penduduk memungkinkan jadi kota. Belum lagi perkembangan dari segi politik, ekonomi, dan budaya memungkinkan berpisah dari Ciamis. Dengan terpisah dari Ciamis, semua julukan dan kemajuan pernah diraih Banjar, bisa diwujudkan lagi dengan menentapkan diri sebagai daerah otonom.

Pihak Forum dan juga tokoh Banjar terus bergerak untuk menyukseskan, perpisahan dengan Ciamis. Akhirnya, langkah awal mereka disambut dengan persetujuan di DPRD Kabupaten Ciamis pada 9 Maret 2001. Lalu DPRD Jabar juga menyetujui 14 Juni 2001.

Tanggal 16 Mei 2001, Tim Independen melakukan kajian atas Banjar dengan hasilnya bahwa Banjar layak menjadi daerah otonom. Hasil ini dikuatkan dari keputusan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah 18 Oktober 2001, Banjar sudah layak memisahkan dari Ciamis. Tanggal 24-30 Oktober, Rancangan UU tentang Pemerintahan Kota Banjar dibahas intensif di DPR. Selasa 12 November 2002, Banjar ditetapkan jadi daerah otonom.

Sesuai dengan UU tentang Pemerintahan Kota Banjar, untuk wilayah Banjar adalah dari sebagian wilayah Kabupaten Ciamis yang terdiri dari empat kecamatan. Pertama, Kecamatan Purwaharja, Langensari, Pataruman, dan Banjar. Total luas wilayahnya kurang lebih 113, 49 km.

Batas wilayahnya, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cisaga serta Kecamatan Dayeuh Luhur dan Wanareja Kab. Cilacap (Jateng), sedangkan batas sebelah timur adalah Kec. Lakbok dan juga sebagian Wanareja, Cilacap. Sebelah selatan berbatasan dengan Lakbok dan Kec. Pamarican, Ciamis. Batas sebelah barat yaitu Kec. Cimaragas dan Cijeungjing, Ciamis. Hanya saja penentuan batas kota secara pasti di lapangan, akan ditetapkan Menteri Dalam Negeri. Nantinya juga disusul dengan penetapan Tata Ruang Wilayah Kota Banjar sesuai dengan aturan berlaku.

Berkaitan dengan penyelenggara pemerintahan di Kota Banjar, akan dipilih dan disahkannya seorang wali kota dan wakilnya, paling lambat setelah satu tahun peresmian Kota Banjar. Untuk sementara, akan diangkat Pjs wali kota oleh Mendagri atas nama Presiden berdasarkan usulan Gubernur Jabar. Peresmian serta pelantikan pejabat Wali Kota Banjar, paling lambat dua bulan setelah UU ini diundangkan. Peresmian Banjar bisa oleh Mendagri atau menunjuk Gubernur Jabar sekaligus melantik pejabat wali kota. (Undang/"PR")***

Tidak ada komentar: